Sikap jemari tangan ngruji, nyempurit, dan ngiting terdapat pada tari Jawa gaya Yogyakarta dan Solo. Sikap ini merupakan dampak perilaku tangan paham India. Ketiganya mengandung arti yang berbeda pada kitab seni tari India, Natya Sastra, karya Baratha Muni. Pengaruh ini sejalan dengan proses perkembangan budaya menjadi larut dalam kultur masyarakat setempat.
Sebagai rujukan kecil pembauran terdapat pada bentuk gerak tari yang satu sama lain menyerupai, tetapi dengan nama yang berbeda. Pada tari gaya Yogyakarta, gerak mirip ngruji yang digunakan untuk bentuk gerak tangan digunakan untuk salah satu gerak tari Bali, sedangkan bentuk gerak yang sama digunakan istilah ngruyung untuk gaya Solo, di Sunda digunakan istilah nanggre. Pada anutan yang bersumber dari Natya Sastra, istilah mudra pataka atau ngruji, atau ngruyung, mengandung arti sebagai memberikankut:
a) hutan,
b) sungai atau laut,
c) kuda,
d) waktu malam,
e) bulan purnama,
f) hari hujan,
g) sinar matahari,
h) bulan atau tahun.
Pada umumnya, pemakaian perilaku tangan mudra mengutamakan segi estetisnya dibanding lisan secara simbolis. Dengan kata lain, meski bentuk gerak sama dengan simbol anutan Hindu di India, tetapi gerakan yang dilakukan tidak mengandung arti tertentu bagi kita. Gerakan digunakan dan ditempatkan dalam koreografi dengan alasan hanya alasannya yaitu bentuknya yang dipenilaian indah.
Setelah melewati fase feodalisme, kondisi sosial ekonomi menerima tempat yang "membaik" pula. Masyarakat tidak lagi ragu untuk berciptaan menuangkan inspirasi dan karya yang inovatif sesudah dibelenggu oleh status sosial yang menganggap bahwa pribumi (inlander) bodoh. Sebelumnya, tari hanya diperuntukkan bagi kaum bangsawan dan para pejabat kolonial sebagai sebuah hiburan yang memuaskan para pengeruk kekayaan dan ajang pamer kekuasaan.
Pada dikala bangsa terlepas dari kolonialisme, dunia seni tari tradisional merebak kolam jamur di trend semi. Setiap kawasan mempunyai penahanr-penahanr tari yang dipenuhi para peminat. Berpuluh-puluh tarian–bahkan ratusan–dipelajari dan diperkenalkan serta masuk ke kalangan pejabat sebagai hiburan atau tari persembahan. Hal ini menjadikan gairah bagi para koreografer untuk semakin menambah kekayaan seni tari Indonesia. Diantaranya, dengan menyelenggarakan pameran tari kawasan atau kursus tari bagi tiruana kalangan.
Advertisement